Oleh : Novita Lestari (Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta)
Kumpul keluarga menjadi panggung kecil kebersamaan yang penuh warna. Suara tawa anak-anak bercampur dengan aroma gulai hangat dan aroma kopi yang baru diseduh. Keluarga besar hadir dari berbagai penjuru, seolah ingin mengumpulkan serpihan-serpihan waktu yang selama ini terpisah oleh jarak dan kesibukan.
Akan tetapi, setelah riuh suara makan bersama dan celoteh cerita masa lalu, suasana mulai berubah. Perlahan, satu per satu mulai menarik diri, menyendiri dengan layar kecil yang tak pernah lepas dari genggaman. Ponsel jadi pusat perhatian, bukan lagi kepada sesama anggota keluarga. Mata terpaku pada layar yang tak berujung, jari-jemari sibuk menelusuri dunia maya, tetapi percakapan nyata menghilang.
Di satu sisi, teknologi memudahkan manusia terhubung dengan siapa saja dan di mana saja. Pesan instan menghapus jarak, mengaburkan batas ruang dan waktu. Sayangnya, di sisi lain ada paradoks menyakitkan: kehadiran fisik tak lagi menjamin kehadiran hati.
Dalam ruang yang sama, ada yang lebih dekat dengan layar ponsel daripada dengan anak atau orang tua yang duduk tepat di sebelahnya. Semua orang yang duduk berdekatan lebih sering membalas pesan di aplikasi perpesanan instan daripada mendengarkan cerita langsung. Dunia digital yang luas tanpa batas, seringkali menjadi tembok pemisah tak kasat mata.
Teknologi hadir membawa banyak kemudahan, tetapi bukan tanpa konsekuensi. Ketika komunikasi terasa melimpah, manusia malah kerap mengabaikan komunikasi yang nyata. Waktu bersama keluarga yang seharusnya berkualitas menjadi terbagi dengan dunia maya yang tak pernah henti berisik. Rasa nyaman yang diberikan layar kadang menutupi rasa kehilangan yang tak nampak.
Dari semua itu, masih ada ruang untuk harapan. Tanpa perlu pembahasan berat, cukup dengan tanya sederhana tentang masa lalu, suasana berubah. Tawa kecil muncul, cerita lama pun mengalir, mengisi ruang dengan kehangatan yang sempat pudar.
Ini bukan hanya soal menghindari teknologi, melainkan bagaimana mengelolanya agar tetap menjadi alat yang menghubungkan, bukan memisahkan. Menetapkan waktu bebas gadget saat makan malam, menghidupkan kembali tradisi bercerita, atau sekadar menyisihkan waktu untuk hadir tanpa gangguan, adalah langkah kecil tetapi bermakna.
Keluarga adalah tempat di mana hati bertemu tanpa perlu kata-kata yang rumit. Tempat di mana perhatian utuh hadir, mata yang saling memandang, dan cerita yang mengalir tanpa hambatan. Teknologi boleh saja membantu mempercepat komunikasi, tetapi yang mengikat jiwa adalah kehadiran yang tulus dan tanpa distraksi.
Dalam derasnya arus digital, penting untuk diingat bahwa koneksi bukan sekadar soal sinyal dan data, tetapi tentang kehadiran penuh makna. Hadir tanpa gangguan, mendengar tanpa terburu-buru, dan melihat tanpa setengah hati. Sebab pada akhirnya, teknologi hanya jembatan, sedangkan ikatan keluarga adalah kehangatan yang hadir dari hati.
Kategori tulisan : Feature
Penulis : Novita Lestari
Kampus : Politeknik Negeri Jakarta