qdxqWFisudm6DGCugNCmxTscxWj4jhGgj3sh0iWz

MASJID KAPAL Sebuah ICON di Gresik Utara, Donasi Dari Cucu Ulama Besar

GRESIK, GNN

Merdu, Kumandang azan Isya terdengar. Suaranya mengalun, sesaat kemudian, ratusan orang menuju masjid dimana suara tersebut berasal yakni di kampung pesisir utara, tepatnya, di Dusun Mulyosari, Desa Banyuurip, Kecamatan Ujungpangkah.

Lokasi masjid tersebut dari Kota Gresik kurang lebih 40 kilometer, dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit, jika tidak macet. Malam itu, para jemaah hendak melaksanakan salat Isya sekaligus salat Tarawih, malam pertama Ramadan 1443 Hijriah. Suasana tempat ibadah itupun lebih ramai dari biasanya.

Arsitektur masjid itu menarik. Jamaknya, masjid ada kubah dan menara. Tapi, tidak demikian dengan masjid di Desa Banyuurip tersebut. Bentuknya menyerupai perahu. Bagian haluan depan melancip. Ornamen jendela di sisi kanan dan kiri berbentuk lingkaran. Tak ubahnya seperti biasa dilihat di perahu atau kapal-kapal nelayan itu.

Nama masjid itu tertulis jelas dari luar berbahasa Arab: Masjid Jami Abdul Hamid Al Faqih. Berlantai dua. Berdiri di atas lahan seluas 58x38 meter persegi. Bangunan masjid itu memang tidak seberapa luas. Hanya 27x13 meter persegi. Namun, kabarnya cukup untuk menampung jamaah sekitar 250 orang. ‘’Lahannya wakaf dari salah seorang warga sini,’’ kata Kepala Desa Banyuurip Ihsanul Haris.

Masjid perahu itu memang tepat berdiri di kawasan tersebut. Simbolik wilayah pesisir. Banyak warga sekitar yang bekerja sebagai nelayan. Selama ini, kerap menjadi jujukan wisatawan. Masjid perahu itu sudah menjadi ikon di Ujungpangkah, selain ada pula wisata Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Hutan Mangrove, yang eksotik dengan kekayaan aneka burung migrannya.

Masjid Abdul Hamid Al Faqih itu dibangun sebelum pandemi Covid-19. Tepatnya, pada 2018 lalu. Hanya dalam waktu delapan bulan, masjid sudah berdiri megah. Kalaupun ada yang kurang, mungkin tinggal melengkapinya dengan taman-taman cantik dan warna-warni lampu. Dengan demikian, panorama makin terlihat estetik.

Asal-Usul Nama Masjid

Mungkin belum banyak yang mengetahui siapakah Abdul Hamid Al Faqih? Yang menjadi nama masjid perahu itu? Abdul Hamid adalah putra kedua ulama besar pada zamannya. Yakni, KH Moch, Faqih Maskumambang, dari istri pertama Nyai Nur Khadijah, putri dari KH Mochamad Akhyat, pengasuh Pesantren Kebundalem, dekat wilayah Pegirian, Ampel, Surabaya.

KH Faqih Maskumambang yang lahir pada 1857 M merupakan salah seorang tokoh yang turut berperan dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU). Saat itu, KH Faqih juga menjadi pengasuh Pesantren Maskumambang, di wilayah Kecamatan Dukun.

Sejumlah literatur menyebut, saat kelahiran NU pada 1926, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari menjabat sebagai rais akbar (posisi tertinggi), sedangkan KH Faqih Maskumambang sebagai wakil rais akbar atau orang kedua. Dua tokoh di antara nama-nama ulama masyhur di Pulau Jawa yang melahirkan banyak santri, yang kelak santri itu juga menjadi ulama besar dengan pesantrennya yang tersebar di segenap penjuru tanah air.

Sebut saja beberapa santri KH Faqih Maskumambang yang menjadi tokoh besar adalah KH Zubair Dahlan (ayah Mbah KH Maimoen Zubair, Sarang); KH Abdul Hadi (Langitan); KH Imam Khalil bin Syu’aib (Sarang); KH Ma’shum Ali, Kwaron, Seblak, Jombang; KH Adlan Ali, Cukir, Jombang; KH Faqih Utsman, KH Fattah Yasin, KH A. Wahid Hasyim, dan banyak lagi.

KH Hasyim Asyari dan KH Faqih Maskumambang juga sama-sama pernah menimba ilmu kepada Syaikhona KH Kholil, Bangkalan. Keduanya juga sama-sama pernah berguru ke beberapa ulama terkemuka di Tanah Suci Makkah. Kendati demikian, bukan berarti kedua tokoh besar itu selalu dalam satu pandangan terhadap persoalan fiqih.

Disebutkan, KH Hasyim Asyari dan KH Faqih Maskumambang pernah berbeda pandangan soal beduk dan kentongan. Alat pukul yang terbuat dari kayu atau bambu itu. KH Hasyim Asyari menolak untuk menggunakan kentongan sebagai alat penanda waktu salat, sementara itu KH Faqih memperbolehkannya. Toh, meski demikian, keduanya tetap seperti suadara dan saling menghormati.

Suatu ketika, KH Hasyim Asyari diundang berceramah ke pesantren KH Faqih Maskumambang. Untuk menghormati kehadiran KH Hasyim Asyari, KH Faqih pun meminta para santrinya dan warga sekitar sementara membersihkan kentongan di pesantren maupun di masjid sekitar.

Antara KH Hasyim Asyari dengan KH Faqih Maskumambang juga masih memiliki hubungan kekeluargaan. Salah seorang keponakan dari KH Faqih Maskumambang yang bernama KH Ma’shum Ali, menikah dengan salah seorang putri KH Hasyim Asyari, yakni Nyai Khairiyah Hasyim.

KH Faqih Maskumbangan juga putra seorang ulama besar, yaitu KH Abdul Jabbar. Jika dirunut terus ke atasnya lagi, nasabnya tersambung dengan Raden Ainul Yaqin alias Kanjeng Sunan Giri, salah satu tokoh Walisongo.

Nah, salah seorang putra KH Faqih Maskumbambang ada yang bernama KH Abdul Hamid. Dialah yang dijadikan nama masjid perahu di Desa Banyuurip tersebut. Semasa hidup, KH Abdul Hamid juga memiliki andil besar. Termasuk dalam sejarah kelahiran NU bersama orang tuanya. Bahkan, sebelum nama Nahdlatul Ulama disepakati, KH Abdul Hamid disebut mengusulkan nama lain: Nuhudlul Ulama.

KH Abdul Hamid juga tokoh pendiri NU di Gresik, tidak lama setelah NU pusat berdiri di Surabaya pada 1926 itu. Dalam perjalanannya, penerus estafet Pesantren Maskumambang memang bukan ke KH Abdul Hamid. Namun, KH Ammar Faqih, putra keempat KH Faqih atau adik kandung KH Abdul Hamid. Sepeninggalnya, pesantren lantas diasuh KH Najikh Ahjad, anak menantu dari KH Ammar.

Nah, yang menjadi penyandang dana utama dari pembangunan masjid perahi itu adalah H. Muhammad Sakhr, salah seorang putra dari KH Abdul Hamid Faqih. ‘’Kabarnya, beliau (H Muhammad Sakhr, Red) adalah seorang pengusaha muslim yang tinggal di Jakarta,’’ kata Ihsan.

Menurut Ihsan, masjid perahu dibangun di Desa Banyuurip lantaran atas usul dari salah seorang tokoh masyarakat yang dekat dengan H Muhammad Sakhr. Perahu itu sekaligus sebagai simbolisasi perjuangan KH Abdul Hamid ketika berdakwah di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.

‘’Tempat tinggal KH Abdul Hamid dan keluarga itu kan berada di Kecamatan Dukun yang dekat Bengawan Solo. Dulu, belum masih ada jembatan, maka perahu itu menjadi sarana transportasi beliau,’’ tambah Haris.

KH Faqih Maskumambang beserta keluarganya dimakamkam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Sembung Anyar. Lokasinya, tidak jauh dari kantor Kecamatan Dukun. Makamnya membaur dengan makam warga desa sekitar. Untuk menuju ke makam tersebut, harus melewati jalan setapak. Melintasi pematang sawah.

Pada beberapa tahun terakhir, sudah banyak warga dan tokoh yang berziarah ke makam KH Faqih Maskumambang. Termasuk jajaran pengurus NU Jatim maupun Gresik. Seperti saat peringatan Harlah ke-99 NU pada Januari lalu. Bahkan, KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha juga pernah berziarah pada 2020 lalu. Maklum, Mbah Maimoen Zubair yang merupakan guru Gus Baha, juga pernah nyantri di pesantren KH Faqih Maskumambang.

Sebelumnya, makam itu sempat tertutup. Ke depan, NU dikakabarkan akan berupaya merevitalisasi pesarean tersebut. Semoga cepat terealisasi.(Hoo)

Baca Juga

Related Posts